Selasa, 05 Juni 2007

Paskibraka

P A S K I B R A K A
Oleh : Dr.H.K.Suheimi
Hari ini, disini di tempat ini di Istana Negara ini. Saya panjatkan puji Syukur ke hadirat illahi. Atas izin_Nya kami suami istri di perkenankan mengikuti detik-detik proklamasi 17 Agustus 1996.Kami bisa hadir di tempat ini adalah berkat sepucuk surat undangan. Bunyi surat undangan itu ringkas saja. _Presiden Republik Indonesia Mengharapkan kehadiran Saudara Suami Istri, pada Upacara Peringatan Hari Proklamasi Kemerdekaan ke 51 Republik Indo nesia. Hari Sabtu tanggal 17 Agustus 1996 pukul 10.00 WIB dihalaman Istana Merdeka".
Berbekal surat undangan itulah kami suami istri menghadiri saat-saat yang bersejarah itu. Namun karena tinggalnya jauh dari Istana, kami terlambat tiba di bandingan dengan para undangan lain yang lebih dulu telah menempati tempat dimuka. Kami kebagian tempat yang agak di belakang.
Saya berfikir bagaimana supaya dapat tempat di depan, karena saya ingin sekali menyaksikan anak saya IRDHAN yang hari ini di percaya mengibarkan bendera. Saya cari akal, dan dengan berbekal Handy Cam di tangan kanan dan tustel di tangan kiri saya menyelusup kedalam rombongan wartawan, sehinga saya dapat ke depan bersama-sama dengan wartawan foto. Hari ini saya berlagak seperti "Mat kodak". Beruntung sekali saya dapat merekam semua peristiwa
peringatan detik-detik proklamasi ini.
Betapa terharunya hati ini sewaktu anggota Paski Braka memasuki lapangan dan melakukan tugasnya menggerek bendera. Melalui kamera handy cam saya intip Irdhan saya ikuti kemana langkahnya dan saya rekam setiap gerak geriknya. Disaat dia membentangkan Bendera.
Namanya di sebut. SMU I di sebut, Padang di sebut dan Sumatera Barat di sebut, kemudian nama saya beserta istri di sebut. Saat itu pula kamera saya jadi kabur. Kabur karena setetes air membasahinya. Basah karena air mata saya tumpah di kamera itu. Saya ngak tahan, tanpa saya sadari air mata ini menetes, mengalir membasahi kamera, tangan sayapun bergetar memegang kamera, sehingga hasil rekamannya bergetar dan bergoyang. Getaran rasa haru ini tak dapat saya tahan. Saya malu dengan wartawan disekitar saya. Dengan sapu tangan saya usap mata ini dan saya bersihkan kamera. Namun mata saya tetap kabur karena air mata itu tak hendak berhenti. Gengengkah saya..?, entahlah, tapi Aan, panggilan irdhan telah mengoncangkan saya. Hati saya tergetar, mulut saya berbisik "Terima kasih Tuhan, air mata yang tumpah ini adalah ungkapan rasa syukur kami atas nikmat_Mu". Tidak beranjak saya dari tempat ini, walaupun tak dapat kursi saya tetap berdiri sampai acara usai. Saya abadikan setiap peristiwa. Sebentar saya bidikan tustel. Sebentar saya arahkan kamera handy cam. Bermacam-macam tingkah manusia yang dapat saya rekam.
Seusai upacara, dengan setengah berlari kami berdua istri mencari Irdhan di Wisma Negara. Saya peluk dia, saya cium pipinya yang kiri dan pipinya yang kanan. Ingat ketika dia masih di TK sebelum berangkat ke sekolah. "Cium pipi yang kiri. cium pipi yang kanan, cium sekali lagi Irdhan menjadi senang". Dia hafal banyak lagu.
Sering dia mengumandangkan "Oh Ibu dan Ayah selamat pagi. Kupergi sekolah sampaikan nanti". "Selamat belajar nak penuh semangat, rajinlah selalu tentu kau dapat". "Hormati gurumu sayangi teman. Itulah tandanya kau murid budiman".
"Aan ingin jadi murid budiman" katanya suatu hari. Hari ini saya bisikkan ketelinganya "Aan engkau telah jadi murid budiman, engkau kebangaan papa nak, Engkau anak negara, engkau anak indonesia". "Karena engkaulah, mama dan papamu terundang ke Istana, terima kasih anakku". Saya cium dia sekali lagi. Dipangilnya teman-temannya, satu persatu kami di kenalkannya. Begitu juga kepada pelatihnya. satu demi satu pelatih ini kami salami dengan mengaturkan ribuan terima kasih. Atas bimbingan mereka Anak-anak ini berhasil dan sukses.
Di Istana ini saya merenung, terbayang ketika Aan SMP dia menemui saya. "Aan merasa rendah diri di tengah teman-teman,pa. Karena lidah Aan tak lurus menyebut huruf "R". Setiap kali bicara Aan merasa malu" katanya. Ketika itulah saya memacu dan memberi sugesti "Lihatlah" kata saya; sembari mencontohkan ayah temannya Ustadz Arwan kasri. Arwan Kasry juga tak lurus menyebut "R" tapi beliau ahli berpidato dan tak merasa rendah diri atas kekurangan ini. Justru kekurangan ini yang menjadi cambuk untuk lebih maju". "Bila kau berkata bisa, kau akan bisa, nak !. Percayalah pada dirimu sendiri" bisik saya di telinganya. Tiap hari dilatihnya dirinya mengucapkan huruf "R". Akhirnya dia bisa, rasa rendah dirinya pun hilang. Justru sekarang dia suka berciloteh dan "Malawak". Bekal itu pulalah yang agaknya mendorong dia sehingga melalui perjuangan yang berat. Sejak dari seleksi di SMU 1 Padang. Kemudian berkompetisi diantara siswa SMU se kota Padang. Lalu berlanjut ke tingkat SUMBAR. Alhamdulillah dia lewat. Dan dia lewat lagi ketika seleksi dari 27 Propinsi dia terpilih masuk barisan delapan dan dia mengembangkan dan mengibarkan bendera di Istana Keperesidenan.
Sekali lagi saya persembahkan puji Syukur ke Hadirat_Nya. Karena hanya Dialah yang telah mengatur semua ini. Kita hanya menjalan kan saja. Dan kepada Aan pun saya suruh sujud syukur. Menyampai kan rasa terima kasih karena do'anya setiap shalat tahjud telah di kabulkan Tuhan.
Terima kasih Tuhan dan terima kasih semua. Pada PPI, pada para pelatih. pada guru-guru, pada jajaran dep. dikbud dan semua pihak yang tak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
Untuk semua itu saya ingin sampaikan sebuah Firman Suci_Nya dalam
Al_Qur'an surat AN NASR :
__Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan
Dan Engkau melihat manusia masuk kedalam agama Allah berbondong-bondong.
Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohon ampunlah kepa da_Nya. Sesunguhnya Dia adalah penerima Tobat".
Jakarta hari 17 bulan delapan tahun 1996

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wah itu empat belas tahun yang lalu ya pak..
mendebarkan dan mengharukan..