Senin, 21 Mei 2007

Nelayan

NELAYAN


"NENEK moyangku orang pelaut, menempuh ombak tiada takut." Nenek moyang saya memang orang pelaut, pencari ikan, jadi nelayan. Di waktu kecil saya pun sering ikut-ikutan ke laut, berbiduk, berdayung sampan dan mencari ikan. Tidak mudah dan sangat sulit menangkap ikan, apalagi kalau hari sedang buruk, badai datang dan laut berombak. Bergelut dengan gelombang dan bermain dengan maut, terbuai-buai dan terayun-ayun oleh gelombang dan terhempas oleh ombak. Saya tidak pernah lupa akan semua itu, namun saya ke laut juga, namun saya menangkap ikan dan memancing juga. Kebiasaan ini sampai sekarang masih melekat, mungkin karena darah dagingnya adalah nelayan.
Lalu hari itu Senin 21 November 1994, terbetik berita, "Ikan Melimpah, Nelayan Payah". Hati saya terenyuh membaca berita itu, memang itu satu kenyataan. Beberapa hari yang lalu saya pergi ke Pasir Kandang membeli ikan yang baru saja keluar dari bagan di laut. Banyak bagan di Pasir Kandang dan banyak nelayan di sana, serta banyak pula pedagang membeli dan menjual ikan di pasir putih itu. Ketika seorang nelayan menawarkan ikannya hampir penuh sekeranjang, saya seakan-akan tidak percaya, karena sebanyak itu ikan ditawarkannya hanya Rp 3.000,-. Saya tidak bisa menawar, kasihan ikan sebanyak itu, hampir sekeranjang cuma Rp 3.000,-.
Ikan yang masih baru, matanya putih dan ingsangnya merah, belum masuk es, ikan segar, kesukaan saya. Tanpa ditawar ikan itu saya beli. Oh, betapa murahnya. "Beginilah nasib nelayan, Pak. Ikan banyak dapat, tetapi harganya sangat murah. Payah-payah ke laut saja, ndak sebanding antara modal untuk melaut dengan hasil yang didapat. Kadang-kadang kalau ndak terjual atau ndak bisa dijemur, ikan-ikan kami kubur, Pak." Sore hari seorang nelayan yang berasal dari Carocok Painan, kebetulan datang membawa istrinya berobat. "Memang di Carocok Painan berton-ton ikan-ikan ini kami kubur, karena sudah membusuk, padahal menangkapnya tidak mudah," keluhnya. "Mau dijemur hari berkabut, matahari ndak panas, dan tempat untuk menjemur pun sudah tidak ada karena ikan-ikan yang banyak dan melimpah. Dan kalaupun jadi ikan kering yang digunakan untuk makanan ayam, harganya ndak sebanding dengan modal yang dikeluarkan."
"Kalau ikan-ikan itu dikirim ke Padang, mungkin lebih besar ongkos daripada harga ikan itu sendiri."
"Payah jadi nelayan. Waktu masa sulit ikan susah ditangkap, waktu ikan banyak, harganya sangat murah sekali. Dijual ndak ada pembeli, ditahan dia membusuk, dan akhirnya berton-ton ikan itu kami kuburkan." Keluhnya sambil merenungi nasib para nelayan. "Kami tidak punya alat untuk pendingin sebagai pengawet ikan, seperti yang dipunyai nelayan di Banyumas. Kami pun ndak punya fabrik yang dapat memproses ikan menjadi lebih berguna. Kami tahu, di luar negeri ikan-ikan ini sangat mahal, tetapi di sini, ikan-ikan itu dibuang dan dikubur," cilotehnya lagi.
Malamnya mata saya ndak mau tidur memikirkan nasib para nelayan, karena di tubuh saya ini mengalir darah nelayan. Kadang-kadang terfikir, bagaimana kalau ada inisiatif pemerintah mendirikan sebuah fabrik ikan sardencis. Karena harga sardencis sekalengnya Rp 5.000,-. Sedangkan isinya cuma 3 ekor. Betapa tertolongnya nelayan, sehingga ikannya ndak jadi dikubur dan pendapatannya pun meningkat. Kadang-kadang terfikir lagi, kalau di pingir pantai didirikan satu tempat penyimpanan atau lemari es yang besar, sehingga dapat menampung ikan-ikan yang tidak habis di konsumsi penduduk, bisa disimpan sebagai cadangan dan persiapan. Karena ikan-ikan di laut tempo-tempo sangat sukar ditangkap dan sulit dicari.
Kemudian fikiran lain yang menghinggapi saya adalah, agar nelayan membentuk organisasi, dan organisasi ini memberikan batas maksimal seseorang boleh menangkap ikan, seperti OPEC yang membatasi anggotanya menghasilkan minyak, supaya harganya stabil dan tidak jatuh. Karena saya lihat, hanya nelayan yang bisa menangkap ikan, maka nelayan pulalah yang dapat menentukan berapa banyak ikan yang mau ditangkap dengan memperhitungkan kemampuan dan daya beli dan daya serap orang memakan ikan.
Dengan demikian harga ikan tetap stabil. Jadi nelayan tidak usah repot-repot, kalau sudah sampai batas maksimal dia harus menepi dan menjual ikannya. Dan orang pun ndak bisa mempermainkan harga ikan. Harga ikan ditentukan oleh nelayan. Agar jangan ada ikan yang ditangkap tetapi sia-sia karena dibuang atau dijual dengan harga yang sangat murah. Toh ikan yang belum tertangkap hari ini, esok kan masih menjadi milik nelayan. Jadi nelayan tidak perlu memforsir tenaganya dan dapat menghemat ikan di laut, yang akhirnya boleh dikata milik sang nelayan. Sebagaimana kata sebuah pepatah, "Waktu ada jangan dihabiskan, waktu tidak ada baru dimakan". Seakan-akan nelayan menyimpan dan menanam ikan di laut, yang dapat dipetiknya bila harganya mahal kelak.
Hal lain yang hinggap di fikiran saya adalah, kalau memang ada ikan yang sudah membusuk ndak bisa dimanfaatkan lagi, daripada dikubur, lebih baik buang ke laut lepas. Di laut dia akan jadi makanan bagi ikan-ikan yang lain, agar supaya ikan-ikan di laut lepas semakin mendekat dan makin berkembang biak karena dapat makanan protein, dengan demikian ndak ada ikan yang terbuang percuma. Atau tebarkan di atas karang-karang, di sana banyak ikan karapu, ikan tando, dan jenis-jenis ikan karang dan ikan hias yang harganya jauh lebih mahal. Dia tumbuh dan dia berkembang dengan pesat, tiba masanya nelayan memetiknya.
Dan cara yang lain seperti di negara maju ada peraturan, ikan boleh ditangkap pada ukuran dan besar tertentu, jadi kalau dia masih kecil, biarkan tumbuh dan berkembang. Dengan demikian laut selalu bisa menyediakan makanan yang terbaik dan termahal bagi manusia, dan penghasilan nelayan pun jadi meningkat. Saya sedih, dari dulu selalu saja nasib nelayan ini tidak terangkat, selalu saja dia menempati tempat sebagai golongan ekonomi lemah. Padahal mereka sudah berusaha, menempuh gelombang, kadang-kadang berhari-hari di tengah lautan mencari ikan sebagai makanan yang diakui oleh dunia sebagai makanan nomor satu terbaik dengan gizi yang tertinggi.
Di seluruh dunia ikanlah makanan yang paling mahal, tetapi di negeri saya ikan dikubur karena terlalu banyak dan melimpah serta dibuang-buang. Ironis memang, aneh tetapi nyata, bagaikan ayam yang mati kelaparan di dalam lumbung. Agaknya pemerintah dan pengusaha perlu melirik sektor ini, apakah dengan mendirikan fabrik ikan kaleng ataukah mendirikan kamar pendingin dan pengawet. Semuanya terpulang kepada kita bersama. Karena kita butuh nelayan, kita butuh penangkap ikan yang tangguh supaya kita dan anak cucu dapat gizi dan makanan yang terbaik. Maka kewajiban kitalah memperhatikan kehidupan para nelayan dan mengangkat derajat serta harkat hidup mereka. Agaknya ini adalah usaha dan amal yang paling besar. Ikan-ikan tidak dikubur, nasib saudara-saudara kita nelayan terangkat. Pemerintah kuat dan rakyat pun sehat, ekonomi meningkat. Siapa orangnya yang mau infestasi dan terjun di bidang pengawetan dan fabrik ikan kaleng ini? Pintu terbuka, nelayan berharap, usaha ini dapat sokongan dan Allah pun ridha. Maka menghidupkan dan menghidupi ikan adalah lebih baik daripada mematikannya.
Dan akan menghidupi nelayan dan keluarganya. Kelemahan manusia diakibatkan oleh kenyataan bahwa ia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang lemah, tidak tahan menderita, pendek fikiran dan sempit pandangan, serta gampang mengeluh. Manusia dapat meningkatkan kekuatannya dalam kerja sama dan dapat memperkecil kelemahannya dalam kerja sama. Maka manusia dituntut untuk bisa saling mendengar sesamanya dan mengikuti mana saja dari sekian banyak pandangan manusiawi itu paling baik. Sehingga terjadi pula hubungan saling mengingatkan akan apa yang benar dan baik, serta keharusan mewujudkan yang benar dan baik itu dengan tabah dan sabar.
Untuk semua itu saya teringat akan sebuah firman suci-Nya yang artinya sebagai berikut: "Barang siapa melakukan usaha penuh kesungguhan itu, maka Allah akan menunjukkan berbagai (tidak satu) jalan menuju kepada-Nya." (Surat Al Ankabut ayat 69).

Bekerjalah dengan prinsip membei yang selalu ikhlas karena Allah, sehingga kesuksesan atau hasil sebenarnya merupakan impact dari prinsip memberi, berkorban dan didasari sifat dan kasih sayang yang tulus. Inilah makan ibadah sebenarnya, dalam berusaha selalu mencari Ridho Allah.

Lakukan segala sesuatu karena Allah, dan atas nama Allah dengan tulus

"Berilah nafkah di jalan Allah, dan janganlah terjun dalam kehancuran oleh tangan-tanganmu sendiri. Berubuatlah kebaikan. Sungguh, Allah cinta orang yang berbuat kebaikan."

Q.S 2 Surat Al Baqarah (sapi betina) ayat 195

April 2002

Tidak ada komentar: